Custom Search

Thursday, November 15, 2007

zakat

Salah satu rukun islam yang harus diamalkan seorang muslim adalah menunaikan zakat. Keyakinan ini didasari Firman Allah dalam Al-Qur’an surah At-Taubah : 103
“ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”
Dan dalam firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 110
“ Dan tegakkanlah Sholat dan Tunaikanlah Zakat”
SYARAT WAJIB MENGELUARKAN ZAKAT
Kewajiban ini tentu memiliki syarat dan cara untuk menunaikannya dengan benar dan tepat. Syarat-syarat wajibnya mengeluarkan zakat adalah sebagai berikut :
Islam, dimana kewajiban zakat berlaku bagi Orang muslim sedangkan orang yang belum menerima islam sebagai agamanya maka tidak berkewajiban mengeluarkan zakat. ---- Al Wajiz Fi Fiqhi Al Sunnah wa Al Kitabi Al Aziz hal 212 karya Abdul ‘Azhim bin Badawi ----
Merdeka, Tidak diwajibkan zakat bagi budak hamba sahaya atas harta yang dimilikinya, demikian juga budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan (AL-Mukatib) tidak wajib membayar zakat. ---- Al Zakat wa Tanmiyat Al Mujtama’ hal 118 karya Al Sayyid Ahmad Al Makhzanji ----
Berakal dan Baligh, dalam hal ini masih diperselisihkan untuk zakat anak kecil dan orang gila. Pendapat yang rajih (kuat) adalah, anak kecil dan orang gila tidak diwajibkan zakat. Akan tetapi bagi wali yang mengelola hartanya diwajibkan untuk mengeluarkan zakatnya, karena kewajiban zakat berkaitan dengan hartanya. ---- Ibid hal 117-118 ----
Memenuhi Nishab, nishab disini adalah ukuran atau batas terendah yang ditetapkan syar’i untuk menjadi pedoman mengeluarkan zalat bagi orang yang telah sampai ukuran tersebut. ---- Syarh Al Mumti’ Ala Zaad Al Mustaqni’ karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin 6/20 ----
SYARAT NISHAB
Harta tersebut diluar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seseorang seperti makanan, tempat tinggal, pakaian, kendaraan dan alat yang dipergunakan untuk keperluan mata pencaharian.
1. Harta yang dizakati telah berjalan satu tahun terhitung dari hari kepemilikan nishab, dengan dalil hadits Rosululloh SAW, “Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui 1 haul (tahun)”---- hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalur periwayatan diantaranya Ibnu Umar oleh At-Tirmidzi 1/123 dan Aisyah oleh Ibnu Majah dalam sunannya no. 1793 ----
CARA MENGHITUNG NISHAB :
Dalam cara perhitungan nishab ada perbedaan pendapat Ulama dalam menentukan waktu perhitungan apakah nishab dilihat selama setahun ataukah hanya dilihat awal dan akhir tahun saja ?
Imam Nawawi berkata : “ menurut pendapat Mazdhab Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad serta Jumhur Ulama adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya yang berpedoman pada waktu 1 haul (tahun), sehingga jika harta itu berkurang pada 1 haul yang mengakibatkan hitungan nishab juga berkurang (tidak masuk nishab) maka terputuslah hitungan haul tersebut dan kalau sempurna lagi setelah itu maka dimulai perhitungan lagi dari awal hingga jatuh 1 haul. “ Insya Allah ini pendapat yang rajih. ---- dinukil oleh sayyid sabiq dari ucapannya dalam Fiqh Assunnah I/468 ----
ANCAMAN BAGI YANG TIDAK MENUNAIKAN ZAKAT :
Dalam QS. Ali Imran : 180 , “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan ke leher mereka kelak pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah segala warisan yang ada dilangit dan bumi. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam QS. At-Taubah : 34-35, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukanlah pada mereka, bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu didalam neraka jahannam, lalu dibakarnya dahi mereka, lambung dan punggung mereka lalu dikatakan pada mereka “inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan”
Sesungguhnya harta merupakan ujian besar yang diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anfal : 28, “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar”
Maka celakalah orang yang dilalaikan oleh hartanya dan dia mengira hartanya akan mengekalkannya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Humazah : 1-4 , “ Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak ! sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan kedalam Huthamah”
HUKUM BAGI YANG TIDAK MENUNAIKAN ZAKAT
Bagi orang Islam yang telah jatuh hukum wajib membayar zakat tapi tidak menunaikan dan tidak meyakini kewajiban zakat maka dia telah MURTAD dan menjadi KAFIR karena salah satu rukun islam adalah menunaikan zakat.
1. Bagi orang Islam yang telah jatuh hukum wajib membayar zakat tapi tidak menunaikannya tetapi masih meyakini kewajiban menunaikan zakat maka dia telah melakukan DOSA BESAR namun tidak kafir.
Dalam kategori zakat ini, ada beberapa pandangan sebagian orang islam yang mengatakan kewajiban menunaikan zakat profesi bagi orang islam, dibawah ini adalah nukilan fatwa tentang zakat dari Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Li AL-Buhuts Al Ilmiyyah Wa Al Ifta’ yang disusun oleh Syaikh Ahmad bin Abdur Razaq Ad Duwaisy :
FATWA No. 1360 (Al Lajnah Ad Daimah Li AL-Buhuts Al Ilmiyyah Wa Al Ifta’)
Tanya :
Berkaitan dengan zakat gaji pegawai, apakah wajib zakat itu diberikan ketika menerima gaji atau ketika sudah berlangsung 1 haul (tahun) ?
Jawab :
Bukanlah hal yang meragukan, bahwa diantara jenis harta yang wajib dizakati ialah dua mata uang (emas dan perak), dan diantara syarat wajibnya adalah setelah sempurna mencapai haul. Atas dasar hal ini, uang yang diperoleh dari gaji pegawai yang mencapai nishab, baik dari jumlah gaji itu sendiri atau dengan gabungan uangnya yang lain, sementara sudah memasuki 1 haul maka wajib dizakatkan.
Zakat gaji tidak bisa di qiyaskan dengan zakat hasil bumi, sebab persyaratan haul tentang wajibnya zakat bagi dua mata uang merupakan persyaratan yang jelas menurut nash, maka tidak ada lagi qiyas.
Berdasarkan itu maka tidak wajib zakat dari gaji pegawai yang belum memenuhi haul.
Kesimpulan fatwa diatas adalah tidak dikenalnya istilah zakat Profesi yang ada adalah Zakat Maal.
Wallahu A’lam Bish showw


Assalamu'alaikum Wr Wb

Mhn shohib untuk membaca dengan seksama perihal "Zakat Profesi", semalam aku membaca berulang ulang Fiqh Sunnah perihal Zakat, dan Zakat profesi ini tidak ada. Mhn jika ada referensi yg lebih shahih agar di sampaikan ke shohib
Wassala

Assalamu’alaikum wr.wb.
Akhirnya diskusi muncul lagi setelah lebaran. Sebelumnya saya mohon maaf, karena tanpa ba bi bu langsung ngasih tanggapan yang ‘konfrontatif’ dengan para penghuni is-lam, tapi rasanya tanpa itu jadi hambar saja karena Bung Nizami juga masih ditahan-tahan dalam mengeluarkan dasar pendapatnya.Sebenarnya saya gregetan ketika ada yang mempertanyakan keadilan Allah
terhadap zakat ini, coba simak kutipan berikut “…Apakah adil jika para pegawai mendapat gaji yang lebih tinggi dari pada petani namun ia tidak diwajibkan untuk membayar zakat. Apakah adil jika para pegawai bisa memiliki Kijang Innova terbaru tapi ia tidak wajib membayar zakat, sedangkan petani yang untuk membeli pupuk pun tidak mampu harus wajib membayar zakat setelah panen…” sehingga untuk memenuhi rasa “keadilan“ (yang manusia tidak akan mampu menjangkau segalanya karena keterbatasannya) maka dibuatlah hal tersebut. Perhatikan firman Allah : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (Qs. al-Baqarah [2]: 216).Hanya Allah sajalah yang tahu baik-buruk, terpuji-tercela, adil-zhalim dan sebagainya, ketika seorang muslim menerapkan penilaian tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari, maka penilaian tersebut harus mengikuti apa yang menurut Allah baik atau buruk, terpuji atau tercela, adil atau zhalim dan seterusnya. Manusia boleh saja memberikan penilaian tersebut tapi harus distandardkan dengan Al-Qur’an, hadits dan sumber hukum yang ditunjuk keduanya.Sebelum menentukan apakah zakat profesi disyariatkan atau tidak oleh Islam,
terlebih dahulu harus dipahami bahwa zakat adalah ibadah yang telah ditetapkan tata caranya oleh syara’, baik yang berhubungan dengan syarat-syaratnya, pihak yang wajib menunaikan serta yang berhak menerima, jenis benda yang wajib dizakati, kadar, dan cara-cara pendistribusiannya.
Syariat Islam telah menetapkan jenis-jenis binatang yang wajib dizakati, misalnya sapi, kambing, domba, dan onta. Tidak ada zakat untuk unggas (burung, dan ayam), udang, jengkerik, belut dan sebagainya; meskipun dipelihara dalam jumlah yang besar. Syariat juga telah menetapkan
jenis-jenis tanaman yang wajib dizakati. Tidak ada zakat untuk fakihah (buah-buahan), sayur mayur, terung, lobak dan lain sebagainya (lihat Dr. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy Adillatuh).Akan tetapi, jika unggas, buah-buahan dan sayur-mayur tersebut dijadikan komoditas perdagangan, maka penjual wajib membayar zakatnya. Akan tetapi, zakat yang dikeluarkannya bukan dari zakat ternak atau zakat sayur-mayur dan buah-buahan, tetapi zakat perdagangan. Tidak ada zakat bagi mobil, maupun bangunan. Namun, jika mobil dan bangunan itu dijadikan barang dagang, maka keduanya wajib dizakati. Sebab, kedua barang tersebut telah dijadikan
komoditas perdagangan, sehingga berlaku zakat perdagangan.Untuk itu, para ‘ulama terdahulu beristinbath, bahwa jika tidak ada nash sharih yang menyatakan benda ini, hewan ini, atau tumbuhan ini wajib dizakati, mereka tidak menzakati benda, tumbuhan, maupun hewan tersebut.
Dengan kata lain, tidak ada zakat pada jenis benda yang tidak ditetapkan oleh syariat. Jika seseorang menetapkan bahwa benda ini, tumbuhan ini, atauhewan ini harus dizakati, sedangkan syara’ tidak menetapkannya, sungguh ia telah mensejajarkan dirinya dengan Sang Pembuat Hukum (syâri’) itu sendiri.Demikian pula mengenai zakat profesi. Sesungguhnya, Islam tidak pernah mensyariatkan zakat profesi. Ini bisa kita lihat dari fakta, bahwa para fuqaha dan ahli tahqiq ternama, tidak pernah membahas masalah ini (zakat profesi) dalam kitab-kitab fiqh mereka. Padahal, pada saat itu, profesi pegawai negara, misalnya qadliy, pencatat, dokter, dan sebagainya sudah ada, baik sejak zaman shahabat hingga masa tabi’în. Namun, tidak ada satupun
dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw menarik zakat berdasarkan profesi mereka, misalnya profesi petani, nelayan, dokter, dan sebagainya. Bahkan, sikap generasi awal-awal Islam menolak pemungutan zakat jika jenisnya tidak ditentukan oleh nash syara’. Mereka juga tidak pernah berdalil dengan alasan keadilan dan kesetaraan, apalagi berdalil bahwa hasil
dari hewan ini, atau tumbuhan ini, atau profesi ini lebih besar, sehingga tidak adil jika tidak ada zakatnya. Sebab, alasan-alasan semacam ini hanya lahir dari hawa nafsu, bukan dari akal yang dibimbing oleh syariat Islam.Dalam zakat profesi yang dikenalkan oleh Yusuf Qaradlawiy, sesungguhnya ia telah memasukkan zakat profesi dalam kategori mâl al-mustafâd, dan
menariknya begitu diterima; bisa bulanan, harian, mingguan, tergantung diterimanya harta tersebut. Menurutnya, gaji dokter, insinyur, wiraswastawan dan sebagainya terkategori mâl al-mustafâd. Oleh karena itu, ia harus ditarik zakatnya begitu diterima, yakni 1/40-nya. Sesungguhnya, pendapat semacam ini tidak pernah dikenal oleh ‘ulama-‘ulama masa awal Islam. Bahkan, maksud dari mâl al-mustafâd yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud sama sekali berbeda dengan zakat profesi yang diketengahkan oleh Yusuf Qaradlawiy. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits yang artinya : “Siapa saja yang menerima harta (mâl al-mustafâd) maka tidak ada zakat di dalamnya hingga mencapai haul.”Maksudnya harta yang termasuk kategori mal al-mustafad tersebut tidak serta merta ditarik zakatnya ketika diterima, akan tetapi baru ditarik ketika telah mencapai nishab dan haul. Ini menunjukkan bahwa, pembahasan mâl
al-mustafâd, terkategori dalam zakat mâl (emas dan perak) yang mensyaratkan adanya nishab dan haul. Para ‘ulama sepakat bahwa haul menjadi syarat bagi zakat mâl.Hal ini didukung oleh hadits lain dari Ashim bin Dlamrah dari Ali ra, bahwanya ia berkata, “Tidak ada zakat bagi al-mâl al-mustafâd hingga ia mencapai haul (tersimpan selama satu tahun).” [HR. Abu Dawud, Imam Ahmad, dan al-Baihaqiy].Riwayat serupa dikemukakan juga oleh Nafi’ dari Ibnu ‘Umar [HR. Daruquthniy dan Ibnu Abi Syaibah]. Riwayat senada juga dituturkan oleh al-Qatadah dari
Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Umar (lebih jelas lihat di kitab al-Amwâl tulisan Abu ‘Ubaid, hal.503-504).Jika tidak ada dalil yang menunjukkan dengan sharih tentang wajibnya zakat profesi, maka seorang muslim tidak boleh menetapkan adanya zakat profesi. Seorang muslim tidak boleh berpandangan, bahwa tidak disyariatkannya zakat profesi adalah bentuk ketidakadilan dan kedzaliman. Sebab, petani yang pendapatannya tidak seberapa tetap dikenai zakat ketika panen, sedangkan dokter, insinyur dan profesi lain “yang tidak terlalu berat” dibandingkan profesi petani justru tidak ditarik zakatnya. Mungkin kita bisa memberikan ilustrasi yang serupa untuk menangkis syubhat ini. Rasulullah Saw telah menarik zakat dari unta, sapi, kerbau, kambing dan domba; namun beliau tidak menarik zakat pada kuda, keledai, baghal, dan sebagainya. Rasulullah Saw
bersabda, “Telah maafkan bagimu mengenai kuda dan hamba sahaya, dan tidak wajib zakat pada keduanya.” [HR. Ahmad dan Abu Dawud]. Tentunya kita tidak mungkin berfikiran, “mengapa peternak domba ditarik zakatnya sedangkan peternak kuda atau keledai tidak ditarik, bukankah ini tidak adil?” Jika kita berfikiran seperti ini, berarti kita telah menyangsikan keadilan hukum
yang telah digariskan oleh Allah dan RasulNya.Adapun pengqiyasan antara zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, maupun zakat maal, adalah tertolak. Sebab, tidak ada ‘illat (motif hukum) dalam zakat hasil pertanian, sehingga layak untuk diqiyaskan pada profesi selain petani. Adapun mengenai ‘illat adanya keadilan dan kesetaraan, sesungguhnya ‘illat semacam ini tidak bernilai sama sekali untuk membangun hujjah. Sebab, ‘illat yang absah digunakan untuk qiyas adalah ‘illat syar’iyyah (illat yang diambil dari dalil yang syar’iy), bukan ‘illat ‘aqliyyah (illat yang diambil dari pemikiran). Padahal, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa ‘illat zakat adalah untuk kesetaraan dan keadilan. Selain itu, zakat hasil pertanian tidak boleh diqiyaskan dengan zakat profesi karena petani harus mengeluarkan zakat tatkala ia memanennya. Pendukung zakat profesi menyatakan, bahwa saat panen sama dengan saat gajian, jadi seorang dokter ketika gajian harus ditarik zakatnya juga. Sesungguhnya qiyas semacam ini adalah qiyas serampangan yang didasarkan pada hawa nafsu belaka. Sesungguhnya, nash yang berbicara tentang zakat hasil pertanian tidak mengandung ‘illat sama sekali, sehingga layak digunakan dalil untuk qiyas.

Wallahu’alam,

No comments: