Custom Search

Tuesday, July 14, 2009

UNI EMIRAT ARAB Tiap Hari TKI Berdatangan

08 Juli 2009


KOmpas Cetak
Jumat, 3 Juli 2009
Ada yang bilang Indonesia merupakan surga dunia dengan segala keindahan alamnya. Namun ironisnya, di Dubai, Uni Emirat Arab, Indonesia lebih kuat dikesankan sebagai negeri bencana dan gudang TKI daripada kehebatan pariwisatanya.
Kesan itu antara lain terungkap dari obrolan ringan Kompas dengan seorang petugas di Dubai International Convention and Exhibition Centre, Uni Emirat Arab, awal Mei lalu. Percakapan itu berlangsung sesaat sebelum pembukaan Arabian Travel Market (ATM) oleh Chairman dan Chief Executive Emirates Airlines Yang Mulia Sheikh Ahmed bin Saeed Al Maktoum. Begitu mengetahui Kompas dari Indonesia, sang petugas langsung menanyakan perihal gempa bumi yang terjadi di Indonesia belum lama ini.
Begitu pula ketika Kompas melihat-lihat suasana salah satu sudut kota Dubai pada malam hari dalam perjalanan dengan taksi menuju hotel. Sang sopir taksi mengakui, yang dia tahu tentang Indonesia adalah negeri yang sering ditimpa bencana. Ada juga yang mengaku pernah berwisata ke Indonesia, tetapi umumnya yang dikenal sebatas Jakarta, Bandung, dan Bali.
Director of Sales Le Grandeur Mangga Dua Jakarta Jamal Muhamad, yang turut dalam rombongan Indonesia mengikuti pameran pariwisata di ATM 2009, menyatakan, masyarakat Timur Tengah, termasuk Dubai umumnya, mengenal Indonesia sebagai negara yang sering dilanda bencana. Hal itu karena mereka kerap mendapatkan informasi, seperti dari CNN, menyangkut Indonesia, terutama ketika terjadi bencana.
Jarang ditayangkan iklan soal pariwisata Indonesia di CNN. Itu berbeda dengan Malaysia, misalnya, yang justru gencar beriklan di CNN mempromosikan pariwisatanya dengan slogannya, Malaysia Truly Asia.
"Saya sering berbincang-bincang dengan orang-orang di Dubai ketika saya mencoba mempromosikan Indonesia. Mereka umumnya belum tahu banyak soal Indonesia. Yang mereka tahu berita dari CNN kalau di Indonesia sering terjadi gempa bumi, gunung meletus, banjir, dan kemacetan," kata Jamal.
Konsul Sosial Budaya RI di Dubai Yana Rudiyana mengatakan, Indonesia juga lebih akrab dikenal di mata masyarakat Dubai sebagai negara yang banyak mengirim TKI, dalam hal ini tenaga kerja wanita (TKW).
TKW yang dikirim ke Uni Emirat Arab umumnya sebagai pembantu rumah tangga yang sekarang bahasa kerennya penata laksana rumah tangga. Maaf, hal ini bukan bermaksud mengecilkan peran TKI. Bagaimanapun TKI juga berperan penting dalam penerimaan devisa yang tidak sedikit. Namun, juga disayangkan, Indonesia yang memiliki kekayaan pariwisata luar biasa ternyata lebih dikenal sebagai negara pengirim TKI.
Menurut Yana, jumlah TKI saat ini di Uni Emirat Arab berkisar 50.000 orang. Tiap hari TKI yang masuk ke Dubai lebih kurang 50 orang. "Yang rawan kalau terjadi kasus TKI bermasalah. Bagaimanapun mereka menyandang status sebagai warga negara Indonesia. Repotnya, kalau banyak TKI bermasalah, perilaku mereka buruk, lalu dianggap secara umum orang-orang Indonesia seperti itu. Hal ini tentu kurang menguntungkan untuk kampanye pariwisata Indonesia," kata Yana.
Perlakuan majikan
Di satu sisi, memang ada TKI kabur dari majikan terkadang karena perlakuan majikan yang tidak manusiawi ataupun beban kerja melampaui batas. Akan tetapi, ada pula TKI yang kurang terampil dalam bekerja dan kemampuan berbahasa Inggris amat minim sehingga komunikasi dengan majikan terganggu.
Selain itu, ada pula memang TKI yang kabur dari majikan tanpa alasan yang jelas. TKI bermasalah itu umumnya oleh sang majikan dilaporkan kepada pihak imigrasi, kemudian TKI dimaksud masuk dalam daftar hitam, lalu dideportasi.
"Oleh karena itu, bagi departemen terkait kiranya menjadi perhatian agar TKI yang dikirim benar-benar selektif sehingga keberadaan TKI di luar negeri secara tidak langsung turut membawa citra positif tentang Indonesia," kata Yana.
Kondisi demikian tentu memerlukan perhatian Pemerintah RI, khususnya dalam mengangkat citra positif pariwisata Indonesia, terutama di kawasan Timur Tengah. Apalagi tema pariwisata Indonesia tahun 2009 adalah wisata bahari (marine) dan kegiatan pertemuan, perjalanan insentif, konvensi, dan pameran (MICE).
Begitu banyak kegiatan wisata bahari yang bisa dilakukan, antara lain selam, selancar, layar, dayung, memancing, renang, dan ski air. Banyak pula ikon wisata bahari di Indonesia—sebutlah seperti Bali, Bunaken (Sulawesi Utara), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), Kepulauan Raja Ampat (Papua Barat), maupun Pulau Komodo (NTT)—yang tak hanya menawarkan satwa langka di dunia, tetapi juga menyuguhkan keindahan taman laut yang memesona.
Sementara itu, untuk kegiatan MICE hingga konferensi tingkat internasional pun, Indonesia telah siap. Selain banyak gedung konvensi, pameran, dan hotel mewah, Indonesia juga memiliki fasilitas MICE yang representatif. Sebut saja salah satunya Sentul City Convention Centre berkapasitas 10.000 tempat duduk, yang resmi dibuka pada Maret, dirancang khusus untuk pertunjukan sekaligus konferensi.
Apa yang telah dirancang pemerintah lewat tema marine dan MICE untuk mengundang sebanyak-banyaknya wisatawan mancanegara ke Indonesia tidak akan optimal kalau promosi lemah. Apabila citra pariwisata Indonesia yang diharapkan elegan dengan hasil spektakuler, tentunya modal untuk promosi juga harus spektakuler. Berdasarkan data Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI tahun 2007, anggaran promosi pariwisata Indonesia di lingkungan Asia Tenggara saja berada di urutan ke-4, yaitu sebesar 15 juta dollar AS. Anggaran promosi terbesar adalah Malaysia 100 juta dollar AS, kemudian Singapura 90 juta dollar AS, dan Thailand 85 juta dollar AS.
Indonesia memiliki potensi pariwisata yang begitu besar. Namun, ironisnya—setidaknya di Dubai, Uni Emirat Arab—Indonesia ternyata lebih dikenal sebagai negeri bencana serta gudangnya TKI.
Mungkin perlu ada yang membisikkan ke telinga presiden sekaligus meyakinkan anggota DPR supaya dana promosi pariwisata Indonesia dinaikkan lagi karena tujuannya juga untuk membentuk citra positif Indonesia sebagai surga pariwisata dunia. (Samuel Oktora)
Diposkan oleh The Institute for Ecosoc Rights di

No comments: