Custom Search

Sunday, August 9, 2009

Bayi-bayi yang Lahir dari Rahim TKW

--Anehnya, kita menjadi "jayuts" (lawan kata dari "ghirrah"), tidak peduli dengan wanita-wanita kita yang dijajah kehormatannya. Itukah sebabnya bangsa ini terus ditimpa musibah? KABAR yang dirilis pucuk pimpinan Fatayat Nahdlatul Ulama bahwa sekira 15 hingga 20 bayi lahir dari rahim para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia, mestinya mengejutkan kita. Menjadi tidak mengejutkan karena peristiwa ini sudah berlangsung lama dan sudah banyak orang tahu. Meski demikian, diungkapkannya kembali kasus-kasus seperti ini sungguh menyentak dan menyayat hati kita. Sudah sedemikian miskinkah bangsa ini sehingga kenistaan dan kehinaan yang kita peroleh setiap hari ditelan begitu saja? Kita diam, tanpa bicara, tanpa protes, layaknya seorang budak yang bisa digauli dan dijualbelikan. Miskin dan kemiskinan adalah takdir Tuhan yang bisa diubah dengan usaha kita.
Allah tidak pernah memperlihatkan takdir seseorang, kecuali senantiasa menjadi misteri, agar manusia mencari jawabannya. Manusia yang tidak berjuang untuk memecahkan misteri takdirnya akan tetap terpuruk dalam kemiskinan dan kefakiran. Sementara mereka yang berhasil memecahkan persoalan hidupnya, akan mendapatkan takdirnya sebagai orang yang kaya. Sayangnya, misteri itu menjadi semakin terstruktur dalam suatu sistem negara, sehingga kaya atau miskinnya rakyat ini bergantung kepada sejauh mana pemerintah peduli terhadap kemakmuran bangsanya.
Kenyataannya, kekayaan dan kemiskinan pada bangsa Indonesia begitu terpola. Satu sisi, segelintir orang memiliki kekayaan yang sedemikian banyak sehingga tak terhitung jumlahnya. Di sisi lain, sedemikian banyak jumlah rakyat negeri ini yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga sekadar mendapatkan makan untuk hari ini pun sulit. Ini semua menggambarkan tanggung jawab pemerintah untuk memakmurkan rakyatnya tidak dilaksanakan dengan baik. Alih-alih mewujudkan kemakmuran rakyat bersama, yang terjadi justru jatah kemakmuran rakyat terus digerogoti para birokrat dan pengusaha melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kemiskinan harta sesungguhnya tidak menghalangi seseorang masuk surga, sebagaimana orang kaya berhak masuk surga. Namun demikian, jika bangsa Indonesia mengalami kemiskinan harta, sekaligus nurani, apa yang bisa diharapkan dari bangsa ini? Kemiskinan harta ditandai dengan utang negara dan swasta yang menumpuk lebih dari 150 miliar dollar AS. Aset negara yang ada terus dijual kepada pihak asing dengan harga yang amat murah. Sedangkan sisa aset yang ada menjadi jarahan para birokrat dan pengusaha, dengan cara KKN.
Rakyat yang miskin berusaha menyerbu kota, meninggalkan kampung halaman, sekadar mencari pekerjaan untuk menopang hidup. Di kota, pekerjaan sudah mencapai titik jenuh, apalagi krisis melanda negeri ini sejak 1977 hingga saat ini tidak kunjung pulih. Jangankan pekerja baru, karyawan yang lama pun terus mengalami pemutusan hubungan kerja. Akibat tidak seimbangnya antara lowongan kerja dan pencari kerja, maka mencari kerja ke luar negeri menjadi sebuah pilihan.
Sayangnya, lagi-lagi, pemerintah tidak cukup tanggap dengan rakyatnya yang berusaha survive. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri di luar negeri tanpa perlindungan yang memadai. Mestinya pemerintah memberikan perlindungan hukum dan pengayoman yang memadai. Namun senyatanya, para TKI, juga TKW justru menjadi umpan para calo tenaga kerja. Mereka menjadi sapi perahan dengan cara kolusi antara birokrat dan para cukong.
Padahal, di negeri orang, para TKI dan para TKW bekerja mati-matian. Para TKW harus menghadapi majikan yang tidak mengenal belas kasihan dan tidak sungkan untuk memerkosa, tidak membayar gaji, dan menyiksanya. Sementara wanita yang melarikan diri dari majikan justru sering kali mengalami nasib sial karena berikutnya menjadi umpan empuk mavia tenaga kerja.
Maka kita tidak kaget saat mendengar nasib para TKW yang setiap bulan sedikitnya 15 sampai dengan 20 orang mengandung bayi-bayi majikannya atau bayi siapa yang tidak jelas. Di Jeddah, Arab Saudi misalnya, Konjen RI di sana setiap bulan menampung sekira 150 orang TKW yang melarikan diri dari majikannya. Di Ryadh, sekira 400 orang TKW meminta perlindungan kepada Kedubes RI di sana, di Kuwait angkanya juga lebih dari 300 orang. Belum lagi di Malaysia, Singapura, Taiwan dan sebagainya. Anehnya, kita menjadi jayuts (lawan kata dari ghirrah), tidak peduli dengan wanita-wanita kita yang dijajah kehormatannya. Itukah sebabnya bangsa ini terus ditimpa musibah? Mari kita introspeksi.

No comments: